Senin, 22 Februari 2010

Pokok-Pokok Pikiran tentang Perangkat Hukum dan Liberalisasi Ekonomi

oleh :Subhan, Spd
Tuntunan terhadap liberalisasi ekonomi memberikan tekanan yang besar untuk membuka wilayah perdagangan sebagai pertempuran antara efisiensi versus inefisiensi maupun pertempuran antara kualitas produk sebagai ukuran utama yang digunakan oleh pasar.
Paling tidak, prasyarat seperti inilah yang kemudian dikukuhkan melalui Persetujuan Putaran Uruguay di Marrakesh pada 15 April 1994 yang mengacu kepada tiga pokok perkara.
Pertama, Agreement Establishing the World Trade Organisation (WTO) dengan menyertakan beberapa naskah yanh dianggap tidak terpisahkan dari perjanjian utamanya seperti :
Annex 1A yang mengatur tentang Multilateral Agreements on Trade in Goods termasuk segala sesuatu yang ditetapkan dalam General Agreement on Trade and Tarifif (GATT);
Annex 1B, General Agreements On Trade In Services;
Annex 1C, General Agreements On Trade Related Aspects Of Multilateral Property Rights,
Annex 2, Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes,
Annex 3, Trade Policy Review Mechanism


Kedua, Final Acts Embodying The Results Of The Uruguay Round Of Multilateral Trade Negotiatons yang pada hakikatnya merupakan himpunan dari seluruh generik persoalan yang disetujui di dalam Putaran Uruguay.
Ketiga, Ministerial Decision and Declaration yang merupakan himpunan deklarasi maupun keputusan yang dicapai oleh anggota WTO di dalam tingkat menteri.
Penjabaran terhadap tiga pokok perkara tersebut di atas menghasilkan tiga paket persetujuan yang meliputi pembentukan WTO sebagai pengganti secretariat GATT, penurunan tarif impor bagi komoditas perdagangan termasuk penghapusan hambatan-hambatan perdagangan dan penciptaan ketentuan yang universal mengenai Hak Atas Kekayaan intelektual maupun investasi dalam pengertian yang seluas-luasnya.

Dampak Sistimatik
Penerimaan Indonesia terhadap seluruh keputusan Putaran Uruguay bukan hanya dilakukan secara politis akan tetapi telah dirumuskan secara yuridis ketika ratifikasi terhadap Putaran Uruguay sudah dikukuhkan melalui UU No 7/1994.
Meskipun ratifikasi sudah dilakukan lebih dari 5 tahun yang lalu, agenda pembaharuan hukum ekonomi masih juga terbatuk-batuk di tengah jalan. Padahal tindakan ratifikasi sukar diterjemahkan dengan mekanisme lain kecuali masuknya seluruh keputusan WTO dalam ruang lingkup hukum positif nasional. Artinya, segala hal yang mengarah kepada proses liberalisasi pasar dipandang berlaku juga di Indonesia. Memang benar, tidak seluruh persiapan Indonesia menuju ke arah pembentukan perangkat hokum terabaikan. Ada juga beberapa hal yang sudah berhasil diselesaikan. Salah satu diantaranya adalah pembaharuan perangkat hokum Hak Kekayaan Intelektual (Agreements On Trade Related Aspects Of Multilateral Property Rights ) yang meliputi beberapa standar seperti copy rights and related rights, trade marks, geographical indications, industrial design, patents, protection of undisclosed information dan control of anti competitive practices in contractural licenses.
Meskipun demikian, kita boleh mencatat adanya empat lubang besar yang menyebabkan hokum yang berlaku di Indonesia pada saat ini tidak memiliki korelasi yang positif dengan penerimaan Indonesia terhadap Putaran Uruguay.
Pertama, persiapan pembentukan hokum yang berkaitan dengan Hukum tentang Penyelesaian Sengketa melalui Alternative Dispute Resolution (ADR) atau yang dikenal sebagai arbitrase masih juga berada di wilayah perdebatan. Padahal acuan yang diinginkan tidaklah rumit, yaitu:
- Putusan arbitrase internasional menyangkut hubungan dengan pihak pengusaha Indonesia dapat dieksekusi di Indonesia.
- Ketentuan yang berlaku dalam ADR bersumber dari perumusan yang telah ditetapkan oleh konvensi-konvensi internasional yang sudah diratifikasi oleh Indonesia.
Kedua, perubahan terhadap hukum Penanaman Modal dengan tidak lagi membelah hukum investasi dalam format PMA dan PMDN seperti yang masih sekarang berlaku melalui UU No 11/1970 tentang PMA dan UU No 6/1968 tentang PMDN. Dalam konteks ini, acuan umum yang dirumuskan dalam Putaran Uruguay bertumpu kepada apa yang disebut sebagai Trade Related Investment Measures (TRIM) atau peraturan-peraturan investasi yang berhubungan dengan perdagangan yang meniadakan sama sekali hambatan-hambatan kegiatan perdagangan.
Padahal, ketentuan yang dirumuskan dalam kedua UU tersebut diatas sarat diwarnai oleh diskriminasi dan bahkan pemberian fasilitas yang dipandang dapat menghambat terbentuknya liberalisasi ekonomi. Sebut saja soal perbedaan karakteristik investasi antara PMA dan PMDN, insentif perpajakan melalui instrument tax holiday, hambatan bagi perusahaan asing untuk melibatkan dirinya di dalam retail trade dan beberapa persoalan lain yang berhubungan dengan hukum kontrak, hukum perseroan, hukum kepailitan, hukum pasar modal dan bahkan dengan topik pertama di muka yaitu tentang penyelesaian perselisihan melalui Arbitrase.
Ketiga, perubahan dan penambahan terhadap hukum perjanjian yang berlaku dengan memasukkan asas-asas yang dirumuskan di dalam United Nations Conventions On Contracts For The International Sale Of Goods yang dihasilkan pada 1980 di Wina. Dilihat dari sudut KUH Perdata Indonesia terhadap kaitan yang erat antara asas yang dianut oleh United Nations Conventions On Contracts For The International Sale Of Goods (CISG) dengan asas yang berlaku di dalam hokum perjanjian di Indonesia sehingga ratifikasi terhadap ketentuan tadi akan menempatkan asas hukum perjanjian sebagai hukum yang bersifat universal ketimbang menghasilkan konflik nilai di dalam system hukum yang berlaku.
Faktor Kelembagaan
Salah satu kelemahan utama Indonesia adalah ketidakmampuannya untuk melakuakan pembenahan kelembagaan. Ketentuan yang berlaku dengan apa yang berlaku adalah dua hal yang berbeda akan tetapi justru sudah membaur satu sama lainnya sehingga sukar untuk menggambarkan karakteristiknya secara jelas.
Tidak satupun ketentuan hukum yang baik akan dapat berjalan dalam konteks praksis apabila kelembagaan hukum formal seperti Hakim, Jaksa, Pengacara, Polisi, Arbitrator, Juru Sita dan bahkan Kurator dalam kepailitan gagal untuk menjalankan misi sucinya sebagai penegak hukum. Gabungan dari persoalan ini memperoleh pembenaran ketika penelitian yang dilakukan oleh Bank Dunia mengisyaratkan betapa system peradilan yang berantakan di sebuah Negara telah menjadi penghambat yang paling penting bagi berlanjutnya proses investasi (World Development Report 1997: The State in a Changing World).
Jelas, kekuatan dan bahkan kelemahan sekalipun di dalam perumusan hukum formal tidak akan membawa pengaruh apapun jika faktor kelembagaan diabaikan.

Selengkapnya...

Selasa, 16 Februari 2010

Empat Pilar Hukum Ekonomi

oleh : Alamsyah, SH
Legislasi Masa Depan
Menatap wajah masa depan bukanlah perkara yang mudah. Soalnya, begitu banyak variable yang harus dilibatkan guna mengukur derajat keberhasilan maupun potensi kegagalan di masa depan. Celakanya, kondisi seperti ini sering dijadikan apologi buat melukiskan betapa beratnya tantangan di masa depan. Artinya, sudah ada unsur pemaaf bagi kemungkinan lahirnya senja yang muram bahkan sejak awal. Padahal tatapan ke masa depan adalah output rasional dari tatanan yang secara sadar telah dirancang pada saat ini.
Begitu juga halnya dengan tatanan hukum yang akan mengatur kegiatan ekonomi di masa depan. Adalah dosa besar untuk menyaksikan lahirnya kembali struktur perbankan yang porak poranda hanya karena lemahnya perangkat UU perbankan. Sama berdosanya dengan mengatakan bahwa independensi Bank Indonesia (BI) ternyata tidak berjalan mulus karena UU tentang Bank Sentral telah disusun dengan falsafah dead line, sehingga menghasilkan format yang penuh dengan kepincangan.


Perhatikan pula penyusunan dan kelemahan yang melekat di dalam RUU Perlindungan Konsumen. Repotnya, usaha untuk menutupi kelemahan ini malahan tersita oleh waktu yang lebih banyak dihabiskan di meja lokakarya. Tentu saja potensi dosa di masa depan akan bertambah lengkap ketika kita memahami betapa perdebatan tentang RUU Anti Monopoli juga telah banyak dihabiskan ke persoalan definisi monopoli yang dikaitkan dengan mekanisme penguasaan pasar.
Sukar untuk dibantah, keempat RUU ini memiliki nilai yang sangat berharga untuk mengatur dinamika kegiatan ekonomi di masa depan. Meskipun demikian patut untuk diteliti gangguan yang dapat muncul melalui derajat kepentingan politik dan suara kelompok vested interest ketika RUU ini sedang dan masih di dalam tahapan proses legislasi. Dengan kata lain, pemerintah mana saja tidak boleh main-main dengan naskah RUU hukum ekonomi karena pada dasarnya setiap naskah yang mengatur kegiatan perekonomian bukan hanya sekedar proses legislasi formal, akan tetapi berurusan juga dengan kesejahteraan masyarakat di masa depan.

Wajah Perbankan & UU
Guncangan besar di wilayah perbankan yang terjadi sejak akhir 1997 masih juga terasa hingga saat ini. Restrukturisasi yang dicoba untuk dibangkitkan guna memulihkan kembali fungsi bank sebagai sebagai lembaga intermediasi, masih diliputi oleh suasana yang serba pincang. Mekanisme kebijakan yang sarat diwarnai oleh proses tari ulur serta lemahnya penegakkan hokum, telah member “sumbangan” yang besar terhadap komplikasi persoalan dilingkungan perbankan.
Sukar untuk dibantah bahwa goyahnya lembaga perbankan terutama sekali bersumber dari memburuknya posisi devisa netto sebagai akibat dari meroketnya rekening administratif dalam valuta asing. Keadaan ini menjadi lebih dipersulit ketika mendadak sontak tiang-tiang yang begitu penting untuk menunjang eksintensi perbankan seperti likuiditas, rentabilitas dan solvabilitas menjadi tiang yang begitu rapuh. Hasilnya apalagi kalau bukannya tinggainya non-performing loan serta merosotnya return on assets.
Banyak yang berpendapat bahwa merosotnya indikator teknis perbankan tadi berakar dari lemahnya institusi pengawasan dan tidak bekerjanya mekanisme prudential regulation. Tentu saja perdebatan tentang soal ini dapat memakan waktu yang panjang oleh Karena masing-masing pihak akan bertahan kepada kebenarannya sendiri-sendiri.
Apapun akar masalahnya, riwayat yang memilukan tadi masih juga membersitkan harapan. Dan salah satu dari harapan itu terletak kepada kelengkapan RUU perbankan yang sedang digondok oleh DPR guna menyempurnakan kelemahan yang melekat pada UU No 7/1992. Salah satu hal yang berharga yang bermuat di dalam naskah RUU adalah masalah transparansi. Oleh Karena RUU berpendapat tidak ada lagi yang patut untuk disembunyikan oleh lembaga perbankan kecuali catatan dan data-data yang berkaitan dengan nasabah giro, deposan dan penabung. Artinya, ruang gerak untuk melakukan proses kong-kalingkong dalam pemberian kredit dan bahkan besaran dari kredit yang bermasalah itu sendiri bukan lagi masuk ke dalam pemahaman rahasia bank, sehingga masyarakat memiliki pintu masuk yang berharga untuk meneliti tingkat keamanan ketika hendak menyimpan uang di bank.
Sementara itu, itikad untuk menertibkan wilayah perbankan dengan memberikan tekanan terhadap unsur pengawasan guna menggiring lembaga perbankan agar mematuhi prinsip prudential banking regulation adalah rumusan yang tak kalah jituhnya. Hanya saja, persolan kita dari dahulu adalah sama, yaitu, timbulnya kepercayaan yang berlebihan bahwa dengan melahirkan regulasi, maka seluruh persoalan dapat diselesaikan dengan segera. Timbul harapan bahwa dengan regulasi akan secara serta merta melahirkan lingkungan perbankan yang sehat. Seolah anasir kelembagaan adalah soal yang patut untuk ditanggalkan meskipun tak ada yang membantah bahwa persoalan kita justru terletak kepada faktor kelembagaan itu sendiri.
Betapapun luasnya variabel yang terlibat, satu hal akan selalu tetap jelas, yaitu, prediksi masa depan bukanlah prediksi yang semata-mata digantungkan kepada ada atau tidak adanya perumusan UU yang lengkap ataupun kesiapan unsur kelembagaan, akan tetapi justru terletak kepada bekerja atau tidaknya anasir hukum. Sebab, diukur dengan cara apapun juga sistem yang seharusnya membangun para bankir yang penuh dengan vitalitas serta integritas dan bukan sebaliknya.

Independensi Bank Indonesia
Sementara itu, banyak yang paham bahwa independensi bank Indonesia sudah banyak disuarakan dalam format politik. Format seperti ini bukanlah basa-basi yang menjengkelkan oleh karena di masa yang lalu BI telah kehilangan daya cengkramnya ketika hendak merumuskan kebijakan moneter dan bahkan ketika hendak merumuskan faktor-faktor teknis dalam mengatur lembaga perbankan. Padahal UU No 13/1968 sudah memberikan kekuasaan kepada BI untuk bertindak sebagai otoritas moneter, pengawas bank, maupun untuk mengelolah sistem pembayaran. Ternyata, kekuasaan ini hanya bersifat semu ketika seluruh fungsi tadi telah di tundukan oleh kuasaan pemerintah sehingga BI telah ditempatkan tak lebih sebagai subordinat guna mendukung ordinat yang ada.
Keputusan pemerintah Habibi dengan mengeluarkan BI dari struktur cabinet sama sekali belum cukup. Sebab hakikat dari indenpendensi BI tidak lain dari dibutuhkannya perumusan yang baru yang memberikan ruang gerak yang leluasa kepada BI untuk menjalankan fungsi utamanya terutama dalam konteks pengendalian inflasi, perumusan kebijakan moneter dan bertindak selaku pengawas tunggal untuk wilayah perbankan. Pertanyaan yang justru mendesak adalah siapkah BI untuk bekerja dalam format seperti itu? KONTAN Edisi 21 April 1997 menunjukan betapa aparat BI sendiri tidak bebas dari penyakit kolusi dan bahkan dalam terbitan tadi dikemukakan juga bahwa ambruknya sebagian bank justru disebabkan oleh kentalnya proses kolusi dan tidak berdayanya 1.800 pengawas yang dimiliki oleh BI. Itulah pertanyaan penting yang sukar untuk dijawab dalam tempo dekat ini.
Memang benar, keraguan tadi sama sekali tidak dapat menyingkirkan pentingnya hakikat dari indenpendensi BI. Sama benarnya ketika diambil sebuah premis dasar yang kurang lebih menyebutkan bahwa indenpendensi BI di masa depan hanyalah salah satu prasyarat penting (it is a necessary but not sufficient condition). Itulah sebabnya memberikan prediksi terhadap wajah masa depan BI bukan hanya tergantung kepada prinsi-prinsip dasar yang hendak dijadikan sebagai falsafah dari RUU bank sentral, akan tetapi tergantung juga kepada lembaga yang mengawasi ruang gerak BI. Mengapa? Oleh karena konsekuensi dari indenpendensi BI akan senantiasa diikuti oleh lahirnya tanggungjawab terutama ketika laju inflasi menjadi tak terkendali, ketika kinerja ekonomi merosot sebagai akibat perumusan yang keliru di bidang moneter dan ketika lembaga perbankan terguncang kembali oleh karena pengawasan yang lemah.

Kemesraan Pengusaha dan Penguasa
Salah satu sumbangan terbesar dalam kekacauan ekonomi di Indonesia adalah dikukuhkannya praktik monopoli di berbagai sektor usaha yang memicu terjadinya proses akumulasi capital dengan intensitas yang tinggi. Begitu dahsyatnya praktik ini sampai-sampai tercipta integrasi vertikal dan horizontal yang dikoordinasikan secara mesra oleh pengusaha dan penguasa. Kisah monopoli cengkeh, jeruk, hingga ke tepung terigu adalah kisah nyata yang memberikan isyarat tentang koordinasi yang mesra tadi.
Dalam suasana yang masih diliputi oleh semangat reformasi seperti saat ini, RUU Anti Monopoli dapat dipandang sebagai sebuah terobosan di bidang hukum yang diharapkan memiliki kemampuan untuk membentu struktur ekonomi yang jauh dari pola penghisapan semangat seperti ini memang mengharukan. Akan tetapi kehatuan ini dapat segera berubah menjadi kejengkelan oleh karena proses penyusunan RUU telah mengabaikan terbentuknya ketentuan utama tentang unfair trading practices yang seharusnya dijadikan sebagai generic dari seluruh ketentuan tentang monopoli.
Memang benar, ketentuan yang mengatur mengenai anti monopoli di berbagai Negara diwarnai oleh keanekaragaman. Tapi, esensinya tetaplah yaitu, usaha-usaha untuk menghapuskan derajat monopoli akan sangat tergantung kepada bekerjanya mekanisme persaingan usaha (compotition) yang jauh dari anasir-anasir unfair trading practices sehingga konsumen memperoleh jaminan harga yang rendah dengan kualitas yang tetap terjamin.
Sementara perdebatan masih berlangsung, bolehlah kita berharap munculnya perubahan terhadap adanya vast dispiraties in the distribution of income and wealth yang dalam catatan sejarah ekonomi itu sendiri perjuangan untuk menuju kearah itu sudah berlangsung sejak zaman laissez fair. Nampaknya, terlalu berlebihan jika menganggap kelahiran UU Anti-Monopoli akan dengan serta merta menghilangkan disparitas pendapatan dan kesejahteraan masyarakat, akan tetapi tidak salah jika dengan UU Anti-Monopoli kita membikin harapan bahwa wajah masa depan akan diliputi oleh suasana persaingan usaha yang dapat mendorong lahirnya pengusaha anti karbitan yang selama ini di dasarkan melalui mekanisme tata-niaga.

Perlindungan Konsumen
Kedaulatan konsumen adalah salah satu persoalan yang banyak dibicarakan akan tetapi sedikit sekali diperhatikan. Buktinya, RUU tentang Perlindungan Konsumen telah bertahun-tahun tersendat di tengah jalan. Padahal, tak ada satupun pengusaha yang dapat hidup tanpa dukungan dari konsumen. Akan tetapi suasana yang terbentuk justru terbalik. Konsumen telah ditempatkan sebagai robot-robot yang harus selalu siap menerima kebutuhan akan barang dan jasa yang disediakan oleh produsen tanpa reserve. Bahwa produk yang disediakan tadi penuh dengan tipu daya, bukanlah soal yang patut untuk dipertanyakan.
Ketika perubahan terjadi dan suara-suara konsumen menjadi semakin diperhatikan, maka tidak ada alasan lagi untuk tidak mempersoalkan berbagai hal seperti mutu produk, harga yang kompetitif, kandungan yang membahayakan kesehatan, sampai kepada adanya perjanjian standar yang bersifat sepihak. Terbukanya jalan menuju kepada perlindungan konsumen, lengkap dengan mekanisme gugatan, baik yang dilakukan secara individual maupun secara kelompok (class action), adalah kesemimbangan yang berharga di dalam menta kembali dinamika di sektor riil.

Jangan Anggap Enteng
Keseluruhan agenda hukum ekonomi masa depan bukanlah sesuatu yang dapat dianggap enteng. Jalan pikirannya tidaklah rumit. Pergolakan sosial sering kali timbul bukan karena factor-faktor kebencian terhadap ras, suku dan agama, akan tetapi muncul melalui format ketidak adilan yang sudah tidak lagi memiliki jalan keluar untuk dipecahkan. Ketika struktur ekonomi yang terbentuk sudah menjadi tawanan yang paling setia bagi kelompok masyarakat yang tidak berhasil memicu mobilitas vertikal dan horizontal, maka ketika itu jugalah anasir kedilan menjadi sebuah pertanyaan yang tak mendapatkan jawaban yang memuaskan.
Tidaklah mengherankan jika pergulatan social dan juga politik yang terjadi di banyak Negara, termasuk Indonesia, pada awalnya muncul dari kegagalan untuk merumuskan agenda hukum yang memberikan tempat kepada faktor keadilan dalam konteks kehidupan ekonomi.
Patut dicatat bahwa proses legislatif saja tidak cukup. Pandangan yang menyebutkan bahwa asal ada UU maka semua persoalan menjadi beres adalah pandangan yang mengkerdilkan persoalan. Karena masalah dasar dalam penataan kembali kegiatan ekonomi melalui hukum, adalah masalah yang sangat begantung kepada realitas praxis yang melekat pada begitu banyak variabel. Faktor kelembagaan adalah salah satunya. Dan celakanya factor ini jugalah yang menjadi persoalan yang paling gawat.
Keprihatinan saja tidak cukup untuk membedah seluruh persoalan guna masuk ke tahapan yang jauh lebih baik. Yang dibutuhkan adalah dorongan yang besar agar kemauan politik untuk menyusun perekonomian yang adil dapat dikukuhkan menjadi agenda rakyat dan pemerintah. Mempermainkan kesempatan yang ada dan mengabaikan terbentuknya agenda ekonomi yang dikawal ketat oleh intrumen hukum sama artinya dengan mengukuhkan kembali struktur ekonomi yang sudah terbukti “berhasil” menjadikan sebagian masyarakat menjadi tawana dari ketidak adilan. Maka, berhentilah bermain-main dan jangan anggap enteng soal tadi. Sebab, rakyat sudah lelah menyaksikan betapa dirinya selalu dinobatkan sebagai saksi bisu.

Selengkapnya...