Senin, 21 Januari 2013

MENYOAL TENTANG INDEPENDENSI MEDIA

Oleh : Muh. Fikri Abubakar, S.Sos Media yang bebas sama pentingnya dengan peradilan yang independen , sebagai satu dari kekuasaan kembar yang tidak bertanggung jawab pada politisi. Kedua kekuasaan ini memainkan peran sebagai kekuasaan tandingan melawan korupsi dalam sikls kerja program pemerintah. Media memiliki peranan khusus dan “titik lemah” dalam perang melawan korupsi. politisi dan pegawai negeri mungkin lebih mudah tergoda untuk menyalahgunakan jabatan mereka untuk kepentingan pribadi bila mereka yakin tidak ada resiko perbuatan mereka aan terbongkar dan diungkapkan pers. Politisi dalam upayanya tersebut dapat mencoba membungkam media. Bahkan dalam masyarakat yang sudah terbuka sekalipun ada pejabat-pejabat yang kuat yag mendukung, atas dasar anggapan bahwa media dapat saja bertindak tanpa “tanggung jawab” , penerbitan undang-undang Rahasia Negara yang sangat membatasi hak mendapat informasi dan mengeluarkan pendapat . Di berbagai negara demokrasi yang masih baru dan rapuh, pengalaman media masih terbatas dan peluang untuk berlaku sacara tidak bertangugng jawab besar sekali. Hukum yang pada dasarnya memberikan peluang peuh pada media untuk berprilaku secara tidak bertanggung jawab, dapat merusak pertumbuhan negara tersebut.

Independensi media adalah sebuah konsep yang sangat rumit. Secara umum independensi adalah ide bahwa wartawan harus bebas dari bentuk campur tangan apapun ketika menjalankan dan mempraktekan profesinya. Di berbagai negara, pemilik media yang terbesar (umumnya pemilik stasiun televisi dan radio terkemuka) adalah pemerintah sendiri-situasi yang meremehkan konsep independensi media dari pengaruh negara. Upaya yang perlu dijalankan untuk memperkuat independensi media dengan cara menjadikan media milik pemerintah atau yang dikendalikan oleh pemerintah milik swasta. Bersamaan dengan itu, perlu dikembangkan sistem untuk mengembangkan keanekaragaman dalam pemilikan media, sehingga persaingan yang terjadi diantara media dapat mendorong berbagai prespektif tentang kebijakan punlik dan membatasi kekuasaab politik konglomerat media. Pemilikan media oleh perorangan membawa bahaya yang lain yakni bahaya konglomerasi media-masa, pemusatan pemilikan media dalam tangan segelintir orang saja. Pemusatan pemilikan dapat mengancam demokrasi itu sendiri-partai-partai politik besar dapat disandera oleh pemilik media, yang mempunyai kekuasaan yang sangat besar melalui kemampuannya memanipulasi pendapat para pemilih. Kita telusuri data dari internet. 9 Desember 2009, Universitas Padjajaran pernah mengundang Anett Keller, untuk berbicara mengenai independensi media, karena ia pernah melakukan penelitiannya. Ia adalah seorang wartawan berkebangsaan Jerman dan sempat menerima beasiswa di Universitas Gadjah Mada. Saat ini ia bekerja sebagai Koresponden Surat Kabar The Asia Pacific Times dan lulusan S2 bidang jurnalistik dan ilmu politik di Leipzig (Jerman). Anett melakukan penelitian tentang otonomi redaksi empat media cetak Indonesia, yaitu Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, dan Republika. Hasil penelitian tersebut kemudian dibukukan olehnya yang bertajuk Tantangan dari Dalam, Otonomi Redaksi di 4 Media Nasional: Kompas, Koran Tempo, Media Indonesia, Republika. Buku tersebut, jelas Annet, merupakan riset lapangan untuk gelar masternya di bidang ilmu jurnalistik di Universitas Leipzig, Jerman. Berikut beberapa temuan Anett Keller yang menarik: Ternyata, sistem kepemilikan dan struktur redaksional dalam perusahaan media berpengaruh pada tingkat otonomi redaksi dan isi berita. Hasil penelitian Keller menunjukan bahwa wartawan yang bekerja pada surat kabar yang pemiliknya tidak punya latar belakang jurnalisme menerima intervensi yang dominan dari para pemilik modal. Media massa yang dinilai paling independen adalah surat kabar yang tidak memiliki pemilik saham mayoritas. Republika, setelah 1993, kepemilikan saham 51 persen Republika ada di tangan ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia), pada 2000 Erick Thohir dari grup Mahaka membeli saham mayoritas (35,37 persen). Sementara itu, saham grup Media Indonesia dimiliki 100 persen oleh Surya Paloh. Tidak hanya surat kabar Media Indonesia yang ada dalam grup ini, stasiun televisi Metro TV dan dua koran lokal termasuk di dalamnya. Koran Tempo kontras dibandingkan dengan tiga media massa lain. Saat penelitian ini berlangsung, saham perusahaan Tempo dimiliki PT Grafiti Pers (21 persen), Yayasan Jaya Raya (25 persen), Yayasan 21 Juni 1994 (25 persen), dan Yayasan Karyawan (12 persen), serta 17 persen saham sisanya dipasarkan di bursa. Media Indonesia menempatkan salah seorang staff non-redaksional saat berlangsungnya rapat redaksi. Sedangkan wartawan Republika diperkenankan untuk menerima iklan dari klien lalu mendapatkan presentase hasil iklan. Walaupun pernyataan itu tidak sesuai dengan pernyataan Erick Tohir. Koran Tempo menurut Anett Keller dinilai sebagai media yang memiliki otonomi redaksi dan isi berita paling independen. Hal ini karena tidak adanya pemilik modal yang dominan yang menguasai Koran Tempo. Kompas, menurut Anett Keller, lebih suka bermain aman. Ia menyebut Kompas mengadopsi gaya “Jurnalisme Kepiting” yang berjalan maju namun mundur kembali. Di Kompas, divisi redaksi dan marketing berada di tempat terpisah dan tidak saling mengenal. Bagi pemilik media yang mempunyai latar belakang media maka pemikirannya adalah good journalism, kredibel, sirkulasi, dan iklan. “Tapi kalau yang punya media berlatar belakang bisnis-ekonomi maka logika terbalik. Yang dipikirkan terlebih dahulu adalah apakah ada iklannya atau tidak. Ini mengancam independensi,” karena persoalan independensi ini menjadi tantangan besar. Indepensi bukan soal keberanian. Tapi setelah era reformasi keberanian tidak cukup. Saat ini independensi terkait juga dengan hitung-hitung uang. Hasil penelitian Keller ini menunjukkan bahwa untuk media yang dimiliki oleh pemegang saham yang tidak mayoritas maka secara relatif ada independensi redaksi, sebaliknya jika media tersebut dimiliki secara mayoritas oleh seseorang, atau sebuah kelompok bisnis, maka bagian redaksi secara relatif menjadi kurang independen. Sehingga dapat diketahui bagaimana pemodal sangat berpengaruh dalam independensi media massa. Ditambah dengan ideology yang kurang dari insane pers karena kurangnya standarisasi universitas-universitas yang memiliki jurusan jurnalistik. Atau mungkin kekurangan ideologi inilah yang diperlukan pemodal dalam mengelola media massanya? Karena cenderung akademisi jurnalistik terkenal kritis dan idealis. Terciptanya media massa yang independen adalah yang kita harapkan walau secara realitas tidak ada yang pure independen. Namun, setidaknya tidak berpihak kepada yang sisi yang salah dan lebih memperjuangkan masyarakat. Sumber: http://politik.kompasiana.com/2011/07/13/media-yang-independen-dan-bebas-378482.html http://melekmedia.org/kajian/literasi-baru/menguak-independensi-media-massa-indonesia/#ixzz2MYUNF3gM http://sparklingwomen.blogspot.com/2012/11/meninjau-independensi-media-atas.html http://41807161.blog.unikom.ac.id/independensi-media.245 http://patuguran.blogspot.com/2009/06/independensi-media.html
Selengkapnya...