Jumat, 25 September 2009

The Right Man In The Right Place

Oleh
Sri-Edi Swasano

“Widjojonomics dan Habibienomics akhirnya sama-sama gagal mewujudkan impiannya. Memang ada pertumbuhan ekonomi dan akumulasi kemakmuran, tetapi tanpa satupun pertumbuhan human yang berarti. Kalau Yudhoyonomics tidak menyadari kekeliruan asumsi dasar dari penalaran development economics, ia bakal beresiko kandas di tengah jalan” (Daoed Joesoef, 2009)

Pidato kenegaraan Presiden SBY tanggal 14 Agustus di depan DPR dan 19 Agustus 2009 di depan DPD disusun secara paripurna. Disana-sini memukau, menatap masa depan, menggariskan suatu strategi dasar. Pidato ini mengisaratkan tekad “banting setir”, ingin melepaskan dari kelengahan kultur.

Bangsa ini sudah lama terpuruk. Dalam ramadhan yang lalu banyak diantara kita merenung. Kecemasan sempat menggoyah suasana batin: mengapa tiba-tiba saja apa yang terjadi di negeri ini adalah sekedar “pembangunan di Indonesia”, bukan “pembangunan Indonesia”. Mengapa pula bangsa ini telah lengah budaya, tiba-tiba saja kita menjadi kuli di negeri sendiri, sekedar menjadi jongos globalisasi.

Bukankah kesimpulan dehumanisme Helfferich (sosiologi Jerman) yang menyatakan bahwa kita adalah eine Nation von Kuli und Kuli unter den Nationen (bangsa kuli dan kulinya bangsa-bangsa lain) telah disanggah keras oleh pemimpin Perhimpunan Indonesia di Negeri Belanda (pra1930-an) dengan adagium patriotiknya “kita harus menjadi tuan di negeri kita sendiri”, menjadi “the Master in our own homeland, not just to become the host (Meutia Hatta, 2008). Di zaman presiden Soeharto, hanya Ketua Umum Kadin Hasjim Ning, Probosutejo dan Tony Agus Ardie yang berani meneriakkan slogan “Menjadi Tuan di Negeri Sendiri”, itu. Presiden Soehartopun langsung tersentuh lalu mengkuliahi para pimpinan Kadin itu.

Dengan kedua pidato kenegaraan Presiden SBY yang “banting setir” itu (menegakkan platform nasional Pancasila dan Pasal 33 UUD 1945) dengan empat entri strategisnya, yaitu : (1) kemandirian dan peradaban unggul;(2) memajukan pasar dalam negeri dengan mengoptimalkan domestic contens dan nilai tambah ekonomi di dalam negeri;(3)melepaskan ketergantungan pada kapitalisme fundamental; (4) menolak mekanisme trickledown effect yang gagal menciptakan kemakmuran untuk semua dan yang menempatkan rakyat hanya berhak rembesan belaka dari atas.

Kesemuanya ini telah menuntut pada diri Presiden sendiri untuk menyusun Kabinet “banting setir” secermat-cermatnya. Hukum besi birokrasi dalam stelsel good governance, yaitu “the right man in the right place”, merupakan keharusan mutlak diterapkan.

Namun saya dengar pemberitaan di surat-surat kabar bahwa Presiden SBY sepertinya bersikap melunak, “elegantly softening”, dalam mengakomodasi ronrongan politik, bahwa partai-partai koalisi pasti mendapat jatah di Kabinet. Hal semacam ini sempat dicemaskan oleh Mohammad Hatta dalam karya monumentalnya Demokrasi Kita (1960): “kalau di negeri-negeri yang sudah lama menjalankan demokrasi masih terdapat perbuatan menyalahgunakan kekuasaan, apalagi dalam negeri yang masih muda seperti Indonesia. Bagi beberapa golongan menjadi partai pemerintah berarti ‘membagi rejeki’. Golongan sendiri dikemukakan, masyarakat dilupakan. Seorang menteri perekonomian misalnya menjalankan tugasnya dengan memberi lisensi dan bayaran yang tertentu untuk partainya keperluan uang untuk biaya Pemilihan Umum menjadi penyebab kecurangan itu”.

Bila keinginan partai yang tidak selalu sinkron dengan tuntutan kualifikasi terlalu diakomodasi, maka cita-cita besar tidak akan mudah tercapai. Apabila saja pilihan berdasarkan the right man in the right place bias kebetulan sama dengan keinginan pilihan partai, tentulah itu keberuntungan yang baik. Sebagai salah satu contoh, jatah Menteri Koperasi sejak masa reformasi ini selalu jatuh pada partai tertentu yang taksiran saya kurang memenuhi tuntutan dasar itu, akibatnya tentulah fatal.

Koperasi diseluruh dunia mencatat kemajuan pesat, kecuali koperasi di Indonesia. Padahal banyak tokoh muda Indonesia yang secara ideologis dan professional telah mampu.

Konstruksi politik nasional yang penuh dukungan saat ini, nyaris tanpa oposisi, seharusnya bisa dimainkan untuk memenuhi hokum birokrasi “the right man in the right place”.

Bagaimana bila para anggota cabinet baru setengah hati terhadap pengutamaan kepentingan nasional dibanding terhadap kepentingan pasar, semu dalam pro-job dan pro-poor, kurang menempatkan rakyat dalam posisi “sentral-substansial”-nya, bahkan mereduksi posisi rakyat menjadi “marjinal residual” sebagai obyek pasif pembangunan yang hanya sekedar dianggap berhak rembesan-rembes an?. Pereduksian posisi rakyat pada hakikatnya adalah dehumanisasi, yang banyak lembaga hak-hak asasi manusia lengah memperhatikannya.

Pertanyaannya adalah apakah menteri-menteri lama yang neoliberalistik dapat ikut melakukan banting setir dalam cabinet baru seperti yang dikehandaki Presiden? Jawabnya tergantung, apakah menteri-menteri ekonomi dikabinet lama sekedar teknorat ataukah mereka ideology pasar bebas. Apakah mereka itu ekonom “homo economicus”, ataukah “homo humanus”?. Berpikiran homo economicus neoliberatik akan mewajarkan proses dehumanisasi ekonomi. Bila hanya sekedar teknorat, dia adalah ibarat sekrup yang mudah taat diperintah apapun. Bila mereka ideology yang memang tidak pancasilais tentulah ketaatan itu akan muncul semu.

Apakah kedua pidato kenegaraan Presiden SBY itu mampu menggerakkan inspirasi dan kegiatan nyata bangsa ini untuk meraih kejayaannya? Jawabannya adalah apakah masa besar ini melahirkan kepemimpinan tangguh. Disitulah “banting setir”nya Presiden SBY memberi harapan besar. Selengkapnya...

Senin, 14 September 2009

Ruang Kota : Antara Modernitas dan Budaya Konsumerisme

Oleh
Ilham Daeng Makkelo.

Dari pemberitaan media yang gencar, Makassar dikenal sebagai kota dengan fasilitas hiburan bertaraf internasional. Sebuah daya tarik yang menghipnotis banyak orang untuk berbondong bondong mendatanginya. Dari orang dewasa hingga anak kecil, dari yang sekedar menikmati berbagai wahana yang ditawarkan, hingga reuni keluarga.

Pembngunan trans Studio adalah keberlanjutan dari pembangunan fasilitas modern beberapa tahun terakhir ini dikota Makassar. Mal atau tempat perbelanjaan modern, hingga tempat hiburan berkelas, terus mengepung ruang-ruang kota ini.

Dari sisi ini kita pantas berbangga. Ketika kota lain belum dapat mewujudkannya, dipekarangan rumah kita sudah disuguhi fantasi akan permainan-permainan spektakuler dan menarik. Namun disisi lain, industri konsumerisme telah mengajak dan memaksa siapa saja, dari lapisan social mana saja bermimpi untuk menikmatinya. Dalam alam bawah sadar, kehadirannya secara tidak langsung membangun mimpi dan rasa penasaran dalam benak seseorang akan hal tersebut.

Membangun Kota Modern
Sebagai gerbong utama era globalisasi dewasa ini, berbagai aspek modernitas telah menembus batas dan waktu, merasuk kehampir kelas social masyarakat. Kota kemudian sebagai ruang terdepan dan paling cepat merasakan dan terpengaruh atas aspek perubahan dan kemajuan dalam berbagai aspek.

Esensi lahir dan perkembangan kota memang selalu menyimpan misteri akan perjalanan dan masa depannya sendiri. Dalam uraian Mumford (dalam the city in History, 1961), kota selalu menjadi magnet yang menarik orang dan sekaligus gagasannya dalam berbagai kepentingan. Karenanya sifatnya menjadi container yang menjadi wadah atau tempat yang menampung siapapun. Namun dalam perkembangannya akan berakibat seperti necropolis (kota kematian), yang akan menjadi kuburan akhir yang menanti peradapan dan sekaligus menjadi mega machine, yang menghancurkan unsur kemanusiaan . Dan akhirnya menjadi pentagon, yang menjadi symbol kekuatan dan perusak karena obsesi modernitas dengan mega struktur dan kekuatan yang tidak seimbang antara potensi teknologi dengan kerusakan social.

Dari sini terlihat bahwa tidak ada daya untuk membatasi “ekspresi” perubahan yang kan terus berlangsung, namun sekaligus ada peringatan bahwa gerak tak terbendung tersebut memerlukan perhatian serius atas keberpihakan untuk membangun peradapan yang lebih manusiawi dan menghindari kerusakan social yang lebih luas.

Ketika kota dan modernitas bersanding, budaya konsumerisme dating untuk mengajak penghuni kota untuk dating mencicipi hidangan ilusi-ilusi menggiurkan itu. Semua seolah susah menghindarinya bahkan untuk sedikit mengelak, ketika “jualan”, itu dikemas dalam industri konsumsi canggih. Simbol-simbol modernitas tidak hadir sendiri, tetapi dengan kemasan industri teknologi informasi yang mendukungnya. Melalui berbagai media dan alat teknologi informasi lainnya, hamper tidak ada yang tidak mengetahui bahkan mungkin tergiur atas setiap kehadiran ikon modernitas baru.

Kehadiran Trans Studio misalnya, telah membuat seorang bocahyang tinggal dipinggir kota, terus meminta dan terngiang ketika anak seumurannya yang lain bercerita ketika diajak orang tuanya kesana.

Dari sudut ini, sekali lagi kita takjub bagaimana industri konsumerisme mampu menjelajah setiap sudut dan lorong-lorong kota, sekaligus mampu membangun imaji atasnya.

Harga mahal untuk sebuah kepuasan dan kebutuhan di era modern ini memang tidak perlu dipersoalkan lagi. Itulah konsekuensi modernitas yang harus diterima.

Konsep modernitas yang telah muncul sejak abad ke 17 telah menyadarkan akan sebuah era baru dengan kemunculan suatu system social baru, seperti “masyarakat informasi” dan “masyarakat konsumen” yang tak terbantahkan dengan industri yang mendukungnya. Hal terpenting yang harus dilihat disini adalah bagaimana transformasi dalam keberlangsungan modernitas yang terjadi. Bagaimana mengakomodasi kepentingan yang ada, antara yang memerintah dan yang diperintah, antara yang mempekerjakan dan yang dipekerjakan, antara ruang “megah” dan yang sederhana, dan semacamnya. Pendeknya, bagaimana menjembatani beberapa interkoneksi social yang berlangsung.

Gaya hidup konsumerisme mengespresikan gaya hidup melalui kepemilikan obyek-obyek dan symbol-simbol social. Mereka membeli makna social ditempat-tempat tertentu dan dengan gaya hidup tersendiri, yang dikondisikan oleh teknik pemasaranyang apik. Meski demikian, relasi social dalam jangka panjang perlu diperhatian disini, bagaimana menjaga harmonisasi semua elemen warga kota. Karena tentu saja kita semua sadar bahwa standar hidup penghuninya tidaklah sama, termasuk taraf hidupnya.

Kota Esok Hari
Perkembangan dan pembangunan kota adalah sesuatu yang tidak bias dibendung lajunya, tetapi ideology kota selalu harus menjadi perhatian utama rezim yang berkuasa dan mengatur perkotaan. Tentu saja pembangunan fisik kota oleh siapapun itu adalah anugerah, apakah pemerintah, swasta atau komonitas masyarakat dan lainnya. Namun berbagai keterbatasan dan ketidak mampuan warga kota lain selalu harus menjadi perhatian dan memerlukan ruang-ruang ekspresi tersendiri.

Thomas Karsten sebagai perancang banyak kota-kota awal di Indonesia, memperlihatkan perjuangan yang luar biasa ketika ingin memperkenalkan dunia modern tanpa menghilangkan kebudayaan ‘asli” masyarakat setempat, serta selalu memperhatikan semua kebutuhan kelas social warganya. Karena dalam kehidupan perkotaan yang serba kompleks, akan muncul budaya dominant, tetapi budaya pinggiran juga akan terus tumbuh untuk mewadahi mereka yang tidak dapat mengakses budaya dominant tadi. Kita memimpikan kota ini menjadi lebih modern dengan fasilitas insfrastruk yang baik, tetapi kita juga menginnginkan kota ini memiliki identitas dan jati diri kota yang tidak mengabaikan semua kepentingan warganya. Disamping tidak semakin memperdalam jurang yang berpunya dan tidak, hingga akhirnya gagal membangun masyarakat yang lebih adil dan merata.

Akhirnya kita berharap, perkembangan kota, pembangunan perkotaan, tidak saja memodernkan ruang dan aktifitas warganya. Sebaliknya, dapat membangun peradaban manusiawi, dimana orang kecil tidak hanya menjadi penonton dalam ketidakberdayaannya ditengah gemerlap ikon-ikon kota yang terus dibangun. Atau hanya bisa terpana atas kebanggaan-kebanggaan yang tidak pernah bisa diraihnya. Semoga.


Selengkapnya...