Jumat, 26 Maret 2010

GEMENGDE HUWELIJKEN (PERKAWINAN CAMPURAN) DALAM PENGERTIAN HUKUM INDONESIA

Oleh
Fadhil

Istilah “ gemengde huwelijken “ secara resmi tertuang dalam pasal 1 staatsblad 1898 no.158 berbunyi sebagai berikut : “huwelijken tusschen personen, die indonesie aan een verschillend recht onderworpen zijn, worden gemengdehuwelijkengenoemd”. Dapat kita terjemahkan sebagai berikut : perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia, jadi orang-orang yang menurut hukum di Indonesia tunduk kepada hukum yang berlain-lainan satu sama lain.

Dalam undang – undang RI No.1 tahun 1974 tentang perkawinan pada pasal 57 disebutkan perkawinan campuran ialah : “Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan Asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.”

Istilah “Perkawinan Campuran” didalam tata hukum kita sebagai suatu pengertian hukum, dimulai setelah kita berupaya mengadakan nasianalisasi peraturan – peraturan hukum dan undang – undang warisan masa kolonial. Pada masa kolonial segala peraturan hukum dan undang – undang yang di terbitkan oleh pemerintah kolonial ditulis dalam bahasa belanda. Didalam alam kemerdekaan, tepatnya tahun 1950, mulai dirasakan bahwa peraturan – peraturan perundangan yang tertulis dalam bahasa belanda tersebut harus dibaca dalam pengertian yang nasional yaitu dalam bahasa Indonesia Nasionalisasi peraturan Perundangan dari masa silam yang masih berlaku, pertama-tama dimulai dengan upaya membacanya dengan pengertian dan pemahaman dalam bahasa Indonesia. Para pejabat yang begelut dalam rana Hukum, termasuk para pengajar pada bidang hukum dan para pemikir hukum sejak waktu itu sibuk mengupayakan tentang bagaimana rumusan – rumusan peraturan – peraturan yang masi tertulis dalm bahasa belanda dapat di pahami dan diterima dalam suasana baru yang bersifat nasional dengan kemampuannya masing-masing, secara peribadi kalangan tersebut menjelaskan dengan tertulis maupun ucapan dalam bahasa belanda kedalam bahasa Indonesia. Dengan demikian terjemahan peraturan – peraturan yang masih tertulis dalam bahasa belanda adalah bersifat terjemahan pribadi (bebas).

Diantara terjemahan pribadi tersebut menang terdapat penggunaan istilah-istilah hukum dalam bahasa Indonesia yang juga diterima dan di pakai oleh pakar – pakar hukum yang hidup pada waktu itu. Tetapi juga ada istilah – istilah terjemahan didalam bahasa Indonesia yang oleh seseorang pakar hukum lainnya ditolak. Diantara istilah-istilah hukum terjemahan dari bahasa belanda yang di dalam tahun lima puluhan diterima oleh banyak kalangan hukum ialah istilah “Perkawian campuran” sebagai terjemahan dari istilah hukum kolonial yaitu “Gemengde huwelijken” istilah belanda tersebut adalah suatu istilah yang dipakai oleh undang-undang kolonial yang terkenal dengan nama “Regeling op de gemengde huwelijken” yang diatur didalam staatsblad 1898-158.

Definisi ini mengingatkan kita bahwa “Gemengde huwelijken” (Perkawinan campuran), hanya ada didalam masyarakat yang suasana hukumnya heterogen, artinya ada berbagaimacam sistem hukum yang berlaku bagi golongan-golongan rakyat yang da di Indonesia. Pada masa kolonial Indonesia berlaku bebagai macam stelsel hukum bagi golongan-golongan tertentu. Misalnya di Indonesia, menurut undang- undang kolonial waktu itu, diadakan perbedaan dalam golongan-golongan penduduk atas tiga golongan, atau lebih terperinci dibagi atas 4 golongan. Golongan pertama sebagai golongan yang paling atas ialah golongan eropa. Golongan yang kedua ialah golongan timur asing. Golongan ini masi di bedakan dalam hal hukum yang berlaku baginya menjadi dua golongan. Pertama ialah golongan timur asing cina. Yang kedua golongan timur asing bukan cina yaitu seperti orang-orang arab, india dan lain-lainnya. Golongan yang ketiga sebagai golongan yang paling bawah ialah bumi putra.

Bagi golongan eropa berlaku hukum barat, dalam hal perdata ialah kitab undang-undang hukum perdata. Bagi golongan timur asing cina berlaku kitab undang-undang hukum perdata tersebut dikurangi beberapa bagiannya dengan tambahan-tambahan yang khusus bagi golongan ini. Bagi golongan timur asing bukan cina berlaku kitab undang-undang perdata tersebut tetapi hanya mengenai soal harta benda saja. Bagi golongan pribumi berlaku hukum adat. Apabila ada perkawinan antara seorang pria eropa dengan seorang wanita pribumi maka perkawinan tersebut akan menunjukkan persoalan tentang hukum mana yang akan menguasai perkawinan tersebut . hal ini karena si pria tunduk pada kitab undang-undang hukum perdata, sedang si wanitanya tunduk kepada hukum adat. Demikian pula perkawinan yang terjadi antara seorang cina dengan seorang arab di Indonesia.

Perkawinan yang demikian, dimana masing-masing pihak di tunjukkan kepada Stelsel hukum yang berlain satu sama lain, di sebut sebagai perkawinan campuran, karena hukum mereka masing-masing berbeda.

Didalam perkawinan terjadi antara orang pribumi dengan orang pribumi, tetapi satu sama lain berlainan agama yang di peluknya yaitu yang satu beraga islam yang lainnya beragama kristen, maka inipun akan menimbulkan persoalan hukum, karena hal ini akan termasuk soal perkawinan campuran karena untuk orang pribumi yang beragama islam tunduk pada hukum fikih beserta hukum adatnya. Sedangkan orang pribumi yang beragama kristen tunduk kepada hukum yang hampir sama dengan apa yang termuat dalam kitab undang-undang hukum perdata.

Dari penjelasan tersebut kiranya cukup jelas bahwa didalam dua orang yang berlainan agama mengadakan suatu perkawinan, yang dilihat oleh tata hukum kita pada masa lalubukanlah pada segi agamanya. Tetapi yang penting di ingat bahwa menurut sistem tata hukum kita pada masa yang silam, yang berbeda ialah hukum yang menguasai hidup mereka masing-masing yang didalam perkawinan akan menjadi soal, hal ini akan sangat dirasakan bagi orang pribumi yang berubah agama memeluk agama kristen. Bagi kalangan pribumi, begitu dia menjadi orang kristen maka hukum yang serupa dengan hukum barat menguasai dirinya. Dia sedikit banyak secara hukum perdata telah berubah status hukumnya yaitu darui orang adat menjadi sedikit banyak orang barat dalam hukum perdatanya.

Demikianlah menurut sistem tata hukum yang silam tentang perkawinan campuran. Dari luarnya memang hanya tampak pada perbedaan agama yang dianut oleh masing-masing pihak. Tetapi faktor agama tersebut sebenarnya hanya penting bagi hukum berhubung perbedaan agama di artikan didalam sistem tata hukum yang lama sebagai pula didalam hukum yang berlaku baginya. Dengan perkawinan antar agama intinya adalah perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia tunduk kepada stesel yang berada satu sama lain sesuai bunyi ketentuan pasal 1 staatsblad di atas, perkawinan antara orang-orang yang memeluk agama yang satu sama lain berlainan adalah perkawinan campuran.

Istilah “perkawinan campuran” sebagai terjemahan istilah resmi dari undang-undang tentang “gemengde huwelijken”. Sekali lagi perlu diingat bahwa istilah Indonesia tersebut adalah istilah yang tidak resmi, adalah suatu istilah perorangan.

Istilah tersebut sebagai istilah perorangan dengan sendirinya hanya berlaku sejauh kalangan perorangan yang bersangkutan dengan istilah itu mau menerimanya sebagai gantinya istilah “gemengde hualijken”. Selain itu istilah tersebut sebagai istilah perorangan juga dapat diterima kalau pihak resmi tidak melarangnya atau tidak memakainya sebagai suatu istilah yang isi pengertiannya lain dari yang di maksud oleh kalangan perorangan tersebut. Apabila kalangan resmi yaitu dalam hal ini pembentuk undang-undang, mempergunakan istilah tersebut sebagai istilah resmi dalam perundang-undangannya dengan isi pengertian yang lain, maka istilah tersebut sekalipun asalnya dari perorangan yang sudah diterima umum isinya, maka istilah itu sulit untuk di pertahankan sebagai istilah yang mengandung pengertian perorangan yang dimaksud. Demikianlah terjadi dengan istilah “Perkawinan campuran” ini. Istilah “Perkawinan campuran” sejak tanggal 2 januari 1974 sebagai istilah perorangan telah berhenti. Sejak saat itu istilah “perkawinan campuran” menjadi istilah resmi dari pembentuk undang-undang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar