Program Adipura telah dilaksanakan setiap tahun sejak 1986, kemudian terhenti pada tahun 1998. Dalam lima tahun pertama, program Adipura difokuskan untuk mendorong kota-kota di Indonesia menjadi "Kota Bersih dan Teduh". Program Adipura kembali dicanangkan di Denpasar, Bali pada tanggal 5 Juni 2002, dan berlanjut hingga sekarang. Pengertian kota dalam penilaian Adipura bukanlah kota otonom, namun bisa juga bagian dari wilayah kabupaten yang memiliki karakteristik sebagai daerah perkotaan dengan batas-batas wilayah tertentu. Peserta program Adipura dibagi ke dalam 4 kategori berdasarkan jumlah penduduk, yaitu kategori kota metropolitan (lebih dari 1 juta jiwa), kota besar (500.001 - 1.000.000 jiwa), kota sedang (100.001 - 500.000 jiwa), dan kota kecil (sampai dengan 100.000 jiwa). Kriteria Adipura terdiri dari 2 indikator pokok, yaitu: • Indikator kondisi fisik lingkungan perkotaan dalam hal kebersihan dan keteduhan kota • Indikator pengelolaan lingkungan perkotaan (non-fisik), yang meliputi institusi, manajemen, dan daya tanggap. Kota Makassar meraih Piala Adipura tahun 1997 di Era Kepemimpinan Malik B. Masri, dan setelah menunggu selama 16 tahun Piala Adipura kembali bisa di raih di bawah kepemimpinan Ilham Arief Sirajuddin, dimana sebelumnya tahun 2012 yang lalu Kota Makassar hanya meraih Piagam Adipura. Keberhasilan tersebut bukan semata-mata keberhasilan dari Pemerintah Kota Makassar, tapi ini merupakan hasil kerja keras seluruh steakholder yang terkait dalam bidang kebersihan dan lingkungan hidup. Terlebih lagi ini merupakan suatu penghargaan tertinggi buat masyarakat Kota Makassar dalam menjaga kebersihan dan lingkungan kota. Kriteria penilaiannya Adipura sangat ketat. Indikatornya bertambah, tidak hanya masalah sampah saja, tapi juga air, udara, ruang terbuka hijau. Untuk pengelolaan sampah, indikator utama yang jadi penilaian adalah bagaimana suatu daerah mengelola sampahnya (manajemen persampahan), dimana harus ada bank sampah, pengelolaan Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
Rabu, 26 Juni 2013
Keberhasilan Kota Makassar Meraih Piala Adipura Adalah Wujud Partisipasi Masyarakat
Strategi Komunikasi Dengan Pendekatan Kearifan Lokal
Kemajuan TIK telah memudahkan masyarakat mendukung informasi melalui Radio, TV, atau internet dengan segala konsekuensinya. Komunikasi tersebut sudah dicampuri berbagai kepentingan, bisa berbentuk opini publik. Namun demikian ada suatu cara komunikasi yang cukup efektif pencapaiannya kepada masyarakat, yakni dengan pendekatan kearifan lokal, antara lain: media pertunjukan rakyat, seperti di Sumatera Barat, setiap media pertunjukan rakyat diiringi dengan Randai, bahwa pertunjukan rakyat yang berbasis kearifan lokal terasa lebih mengena di hati masyarakat. Sehingga menjadi media yang cukup efektif menyampaikan pesan kepada masyarakat, dengan demikian masyarakat akan banyak yang aktif, begitu juga dengan daerah lain. Seni pertunjukan rakyat tang telah berkembang berabad-abad merupakan khazanah budaya nasional yang memiliki kedudukan dan peran khas di hati masyarakat Indonesia. Kedudukan dan peran yang dimaksud, kata dia, tidak semata-mata sebagai seni dan kebudayaan saja, tetapi juga sebagai produk dan aktivitas budaya yang memiliki potensi sebagai sarana penyebaran informasi, pendidikan, penanaman nilai-nilai budaya, dan kontrol sosial masyarakat. Seni pertunjukan rakyat identik dengan media pertunjukan rakyat (MPR) yang menggunakan kesenian rakyat sebagai media penyampaian informasi secara timbal balik (komunikasi dua arah) yang dinilai efektif dan komunikatif.Dengan kata lain, kata dia, "MPR" merupakan bentuk komunikasi yang menggunakan kesenian rakyat sebagai media (saluran informasi). Dewasa ini mengingat sebagian besar masyarakat masih hidup di perdesaan dengan tatanan yang lebih berorientasi pada kearifan lokal, maka peran "MPR" dipandang masih efektif.