Rabu, 18 Maret 2009

Pendidikan Demokrasi di Ruang Sekolah

Oleh
Ahmad Gunawan
Masih ingatkah dengan cara murid-murid sekolah dasar saat menentukan ketua kelas?
Mungkin ada sebagian guru yang langsung menunjuk anak bertubuh besar sebagai ketua kelas.
Inilah praktek demokrasi semu yang mungkin masih terbawa dalam ingatan bawah sadar kita. Di masa lalu kita hampir tidak bisa dikatakan tidak pernah memperoleh pelajaran apalagi praktek demokrasi yang sejati. Memilih pemimpin di kelas tidak didasari atas kemampuan dan keahlian. Bahkan sebagai siswa mungkin tinggal menerima saja ketika pilihan disodorkan sang guru.
Mungkin, jika sekarang ini ada sebagian pihak menilai bahwa praktek demokrasi di negara belum berjalan sempurna, kita bisa memakluminya.
Tapi kita harus bangga dengan penilaian The Economist Mingguan terkemuka terbitan London ini pernah menyebut Indonesia sebagai The shining democracy of the world.
Indonesia pada permulaan abad XXI ditandai oleh hadirnya "demokrasi yang berbindar-binar". Pasalnya, Indonesia merupakan satu-satunya negara di dunia yang menerapkan sistem pemilihan secara langsung presiden, wakil presiden dan anggota parlemen dalam kurun waktu satu tahun.
Selain itu, Indonesia juga menerapkan sistem pemilihan pimpinan kepala daerah (pilkada) secara langsung. Publik Indonesia menjadi begitu akrab dengan apa yang disebut Pilkada Gubernur, Pilkada Bupati, dan Pilkada Walikota.
Tapi perlu dibedakan antara demokrasi sebagai sebuah prosedur politik dan sebagai sebuah perilaku. Sebagai sebuah prosedur politik, demokrasi mungkin sudah terlaksana dengan baik ketika kelembagaan demokrasi memainkan peran masing-masing. Suksesi kepemimpinan berlangsung damaitampa ada kekacauan. Namun hal terpenting dari itu semua adalah pendidikan perilaku deokratis.
Dsadari atau tidak, ketidak matangan,ketidakdewasaan,dan ketidakarifan masyarakat dalam menyongsong tumbuhnya iklim demokrasi dalam dunia pendidikan kita. Kelas bukan lagi menggambarkan masyarakat mini yang mencerminkan realitas sosial dan budaya.
Pendekatan perilaku
Perilaku bukanlah karakteristik yang kekal sifatnya tapi dapat berubah, diubah dan berkembang sebagai hasil dari interaksi individu dengan lingkungannya. Oerubahan bisa bersifat positif dan negatif.
Sifat perubahan yang terjadi ditentukan oleh individu yang bersangkutan dan lingkungannya. Proses perubahan perilaku bukanlah proses yang sekali jadi tetapi memerlukan waktu yang relatif sifatnya.
Perilaku bukan pula bawaan atau turunan tetapi lebih merupakan produk belajar, yang mencakup kaawasan-kawasan kognitif,afektif dan psikomotor.
Frekwensi dan insensitas informasi yang kita peroleh akan menentukan apakah perilaku kita akan terpengaruh oleh informasi tersebut(Thorndike, Law of Repetition).
Secara khusus, informasi yang sama, senada atau serupa yang masuk secara berulang-ulang kedalam diri seseorang akan memberikan pengaruh yang berbeda dengan apabila informasi tersebut hanya diterima sekali.
Membangun demokrasi memang tidak hanya cukup dengan pemakluman, kita perlu pula memberdayakan masyrakat. Demokrasi harus mulai dikembangkan disegala bidang kehidupan manusia Indonesia, khususnya dibidang pendidikan.
Demikian pula, dua sisi, baik internal (perilaku Pendidikan) maupun external(masyarakat) harus juga bersama melakukan usaha terus menerus tanpa henti untuk memajukan pendidikan demokrasi.
Sejak dini, demokrasi harus dikenalkan kepada anak-anak, agar kelak jika telah dewasa mereka bisa menjadi pemimpin ataupun rakyat yang tahu makna demokrasi. Bukankah membangun pribadi yang demokratis merupakan salah satu fungsi pendidikan nasional sebagaimana tersurat dalam pasal 3 UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas?.
Pendidikan selalu menyangkut tiga aspek yang tidak terpisahkan, yaitu : aspek afeksi atau sikap, kognisi atau pengetahuan, dan psikomotorik atau keterampilan. jadi pendidikan demokrasi harus dilakukan dengan praktek langsung dan uji coba terus menerus.
Salah satu hal yang bisa kita harap adalah generasi kedepan agar bisa lebih baik mengurus negeri ini. Mengajarkan demokrasi di tahap dasar melalui pemilihan ketua kelas adalah contoh yang bisa kita praktekkan.
Kita bisa mengajak anak-anak secara bergiliran mngurus kelasnya. Misalnya, kalau satu kelas isinya 30 siswa, maka bagilah dalam dalam 3 kelompok, dan masing-masing kelompok bertanggungjawab terhadap kebersihan kelas selama 4 bulan.
Dengan begitu, setiap anak berkesempatan belajar bertanggung jawab terhadap kepentingan umum, Nah, kenapa tidak dicoba ?.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar